Sabtu, 29 Mei 2010

Hak Normatif


Langkah dan Akibat Hukum

Tidak dipenuhinya Hak-Hak Normatif Pekerja

Pendahuluan

- Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

- bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;

- bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;

- bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;

Ketentuan Mengenai Pengupahan dan Perselisihan Hubungan Industri

Sebagaimana Diatur Dalam UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :

Pengupahan

Pasal 88

1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan.

2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagai-mana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

4. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.


Pasal 91

1. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.


Pasal 93

1. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak-nya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.


Pasal 96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.


Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Langkah-langkah Yang Dilakukan Akibat Tidak Dipenuhi Hak-Hak Normatif karyawan ;

1. Melalui Musyawarah Mufakat (Bipartit)

Yakni penyelesaian perselisihan dengan musyawarah antara Pihak Pengusaha dengan Pekerja untuk mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang terjadi, teknisnya bisa dilakukan dengan rapat duduk bersama dengan menjelaskan permasalahan yang timbul di perusahaan sehingga pekerja juga terlibat dan punya rasa memiliki (sense of belonging), dan dibuatkan notulensi Risalah Berita Acara Rapat tentang musyawarah tersebut karena sejatinya pengusaha dan pekerja adalah mitra bagian penting yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain juga sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan pasal 136 (1) :

“Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat”.

Juga diatur dalam UU No.2 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industri pasal 3 (1) “ Perselisihan Hubungan Industri wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan Bipartit secara musyawarah untuk mufakat.”


2. Penyelesaian Melalui Pihak Ketiga (Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase)

Pasal 4 (1) UU No.2 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industri :

Dalam hal perunding bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal (3) maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau kedua belah pihak, instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melaui konsiliasi, mediasi atau arbitrase pasal 4 (3), setiap perundingan harus dicatat dalam berita acara rapat yang nantinya dijadikan dasar atas gugatan di pengadilan apabila tejadi tidak tecapai kesepakatan atau dead lock (buntu).


3. Penyelesaian Hubungan Industri (PHI)

Dalam hal penyelesaian tidak terdapat kesepakatan setelah melalui mediasi atau konsiliasi, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industri.

Pengadilan Hubungan Industri adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan industrial, Jenis perselisihan hubungan industri meliputi :

  1. perselisihan hak ;
  2. perselisihan kepentingan ;
  3. perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ;
  4. Perselisihan antar serikat perkerja/buruh dalam satu perusahaan.

Perselisihan Hak dan Pemutusan Hubungan Kerja apabila ada Pihak yang tidak menerima putusan maka boleh melakukan upaya Kasasi sedangkan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja diperusahaaan yang sama sifatnya final tidak ada upaya hukum lain.




Gugatan

Gugatan perselisihan hubungan industri diajukan kepada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.

Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.

Putusan/ Akibat Hukum Dari Perselihan Hubungan Industri

Putusan sela (putusan sementara) ;

“ apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 (3) UU No.13 tahun 2003, hakim ketua sidang segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan” (pasal 96 UU No.2 tahun 2004).

Pasal 155 (3) UU No.13 tahun 2003

“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha. Hakim ketua siding memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan perselisihan hubungan industri.

Majelis hakim dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu mesikpun diajukan kasasi.


Putusan Tetap (Incracht van gewisjde) :

Adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan wajibn dijalankan sesuai dengan putusan hakim.

Misalnya Hakim dalam putusannya mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya maka Pengusaha harus segera melaksanakan putusan hakim dan jika tidak juga maka asset yang dijadikan sita jaminan apabila pengusaha tidak juga membayar hak-hak pekerja, maka asset tersebut disita selanjungnya dilelang baik secara bawah tangan atau resmi dan dibayarkanlah hak-hak karyawan.

Sumber : UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No. 2 tahun 2004 tentang Perselishan Hubungan Industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar